INDRA (kisah haru anak aceh)
Namaku
indra, aku adalah anak dari ibu fatimah dan bapak zainal
abidin. Aku mempunyai dua orang adik bernama santi dan ramadhan. Bapak adalah
salah seorang imam atau biasa disebut
tengku imum di desaku yang berada di kaki gunung seulawah. Saat ini aku menginjak
usia 18 tahun dan sebulan lagi aku akan
menghadapi ujian kelulusan dari SMA tempatku belajar sekarang, dan setelah ini
aku berencana melanjutkan studiku ke kota banda aceh, untuk mendaftar di
universitas syiah kuala.
sore
ini aku dan bapak hendak pergi ke mesjid yang berada di tengah desaku, bapak
terkena giliran untuk menjadi imam shalat magrib sore ini. Waktu menunjukkan
pukul 18.30 WIB. Aku dan bapak bergegas melangkah menuju mesjid dengan berjalan
kaki. Namun ditengah perjalanan kami menuju mesjid, tiba – tiba aku dikejutkan
oleh suara letupan senjata yang bertubi – tubi, ternyata kontak senjata antara
TNI dan GAM terjadi lagi di desaku, hal yang belakangan ini lebih sering
terjadi daripada tahun – tahun sebelumnya. Aku dan bapak lantas berlari
sekencang mungkin untuk menghindari pertempuran yang sedang terjadi, namun
naas, sebutir peluru mengenai bagian dada bapak, aku dan beberapa warga yang
melihat kejadian ini langsung menggendong bapak untuk dilarikan menuju
puskesmas terdekat, karena rumah sakit sangat jauh letaknya dari desa kami.
Disaat
yang sama seorang warga melaporkan kejadian ini pada ibu fatimah ibuku yang
biasa mereka panggil wak mah. Lalu ibu dan adik – adikku langsung beranjak
menuju puskesmas tanpa memperdulikan kontak senjata yang sedang terjadi diluar,
dan setiba mereka di puskesmas bapak menatap kami semua dengan tatapan kosong,
hingga aku menyadari bahwa bapak akan menghembuskan nafasnya yang trakhir dan
aku langsung menuntun bapak untuk mengucapkan dua kalimat sakral asy’hadu an’la’ilaha illallah wa asyhadu
anna’ muhammadan’rasulullah. Dan akhirnya bapak menghembuskan nafasnya yang
terakhir setelah berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat. Kami semua
menitikan air mata melihat kepergian bapak yang begitu tiba – tiba itu, namun
kami sekeluarga percaya bahwa bapak telah mendapatkan tempat yang layak di
sisinya.
Seminggu
setelah pemakaman bapak kehidupan berjalan kembali seperti biasa, namun rasa
sakit di hatiku masih sangat besar kepada mereka yang telah menembakkan
pelurunya ke tubuh almarhum bapak, sehingga setamatku dari SMA aku berniat
untuk bergabung bersama gerakan separatis GAM demi mencari pembunuh dari bapakku.
Hari ini aku telah tamat dari SMA, namun aku membatalkan niatku untuk menempuh
pendidikan sarjana di kota dan aku memutuskan untuk ikut berjuang di gunung
bersama gerakan separatis GAM, hal ini aku putuskan karena aku terdorong oleh dendamku
yang teramat mendalam terhadap orang
yang telah menembak bapakku walaupun aku tidak tahu itu dari golongan GAM atau
TNI. Sebenarnya ibuku sangat tidak setuju dengan keputusanku ini, namun
keputusanku telah bulat dan ibuku tidak
dapat berbuat apa – apa lagi, beliau hanya mampu mendoakanku agar selamat.
Hari
ini aku memulai kehidupanku yang baru sebagai seorang anggota gerakan separatis
GAM, aku tidak tahu sampai kapan hidupku akan berada di tempat ini, di tengan
hutan rimba Aceh, aku dan anggota GAM yang lainnya sangat sering berhadapan
dengan bahaya dan aku selalu berada diantara hidup dan mati, akan tetapi aku
sudah sangat siap dengan konsekuensi ini.
Hari
ini tepat sebulan aku menjalani hidup
sebagai anggota separatis GAM, banyak hal yang telah kulalui, mulai dari
berhadapan dengan binatang buas di tengah hutan, hingga menghadapi para armada
TNI yang selalu mencoba menyerang kami dimanapun kami berada. Dan tak terhitung
lagi berapa orang rekanku yang telah terbunuh dan berapa orang anggota TNI yang
telah aku bunuh dengan menggunakan senjata yang kumiliki sekarang ini.
Hari
ini kami baru saja selesai shalat dzuhur di sebuah pondok di hutan belantara di
wilayah aceh pidie, tiba – tiba terdengar suara letupan senjata api dari jarak
jauh, salah satu temanku yang bernama amri yang sedang piket jaga terkena
tembakan di kepalanya dan ia tewas seketika. Kami semua lalu lari sambil menembak
kearah para TNI itu, aku melontarkan beberapa tembakan dan pada hari itu
beberapa orang TNI tewas ditanganku. Kami terus berlari sambil melawan. Setelah
kurang lebih satu jam kami dalam pertempuran, kaki kananku terkena tembakan
yang menyebabkan aku tak mampu lagi untuk berlari hingga akupun akhirnya
memutuskan untuk bersembunyi dibalik semak belukar yang membuat seluruh tubuhku
terasa gatal. Di dalam persembunyianku
itu aku merasakan penyesalan yang amat mendalam, aku jadi teringat kata
– kata ibuku, bahwa balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah, akan
tetapi malah membuatnya menjadi lebih
panjang lagi. Dan tanpa kusadari air mataku menetes karena penyesalanku yang
amat mendalam, di dalam hati aku berkata, “ ya allah, apa yang telah kulakukan selama ini, aku
telah menyia – nyiakan hidupku hanya untuk membalaskan dendamku yang sebenarnya
hanya akan menambahkan beban dosaku, lantas untuk apa aku shalat kepadamu, ya
allah jika di hatiku masih terdapat dendam yang membara maafkanlah hambamu ini. Ibu, maafkan aku” .
aku terus menangis hingga satu jam lamanya di dalam persembunyianku, hingga
hutanpun akhirnya sepi dari para TNI dan GAM yang tadinya sibuk menembakkan
senjata mereka kearah lawan, kini tinggal aku sendiri beserta sepucuk senjata
AK–47 dan beberapa amunisinya yang kumasukkan kedalam tas samping milikku.
Kusobek sedikit bajuku untuk membalut luka tembakku dan aku langsung beranjak
menuju desa terdekat untuk meminta bantuan medis.
Setibaku
di desa terdekat, aku langsung dibantu oleh para warga dan dibawa ke puskesmas
sekitar, desa ini adalah salah satu desa yang sangat Pro dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) , mereka langsung melarikanku ke puskesmas terdekat untuk
dioperasi agar peluru di kakiku dapat terangkat.aku dilarikan ke peuskesmas
karena di daerah yang sedikit terpencil ini memang tidak ada rumah sakit.
Setelah melalui operasi darurat di pusesmas desa tersebut aku dirawat oleh
seorang janda tua bernama maryam yang
biasa di panggil cek yam oleh warga sekitar, yang katanya anaknya juga menjadi
anggota separatis sama sepertiku, ia merawatku dengan penuh kasih sayang sama
seperti ibuku sendiri. ia membuatku menjadi semakin rindu kepada ibuku, dan ia
membuat rasa penyesalanku semakin besar karena telah mengambil tindakan konyol
dengan meninggalkan ibuku, adik – adikku, dan masa depanku hanya demi
membalaskan dendam atas kematian bapakku yang mungkin bapak sendiri tidak ingin
aku melakukan hal itu.
Setelah
aku sembuh dan kembali mampu untuk berjalan, aku langsung mohon diri kepada cek
yam untuk pulang ke kampung halamanku karena aku telah sangat merindukan ibuku,
lalu sebelum aku pulang aku menitipkan senjata api yang ada padaku kepada cek
yam untuk diserahkan kembali kepada anggota GAM
jikalau ada gerombolan anggota GAM yang melewati kampung tersebut.
setelah minta izin, aku langsung pulang ke kampung halamanku dengan menaiki bus
Bireun Expres (BE) dengan menggunakan uang yang disumbangkan oleh warga desa kepadaku. Beruntung namaku Belum
masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh kepolisian karena aku juga
belum terlalu lama tergabung di GAM dan namaku belum sempat dikenal oleh banyak
orang baik dari kalangan GAM sendiri maupun dari kalangan TNI dan Kepolisian,
jadi walaupun terjadi beberapa razia di jalan, aku selalu selamat di
perjalananku, malah saat di razia aku sempat melihat beberapa orang anggota GAM
yang ditangkap, yang salah satunya aku mengenalinya karena dia juga sempat
berperang bersama denganku.
Sesampaiku
di kampung halaman, baru beberapa langkah aku memasuki kampungku aku mendengar
kabar bahwa ibuku sakit keras karena mendengar kabar bahwa aku hilang di hutan
beberapa minggu yang lalu dari beberapa orang anggota GAM yang melewati
kampungku untuk mencari makanan. Aku diberitahu oleh teman lamaku bahwa Ibuku
sedang dirawat di Rumah sakit umum Dr Zainal Abidin, untuk perawatan jantungnya
karena jantung ibu mulai melemah. Lalu dengan sisa uangku dan uang yang diberikan
oleh teman lamaku itu, akupun langsung berangkat ke banda aceh untuk mengetahui
kondisi terbaru dari ibuku.
Sesampaiku
di banda aceh, aku langsung menuju RSU zainal abidin, agar dapat bertemu dengan
ibuku dan akhirnya setelah bertanya kepada beberapa orang resepsionis, aku
akhirnya dapat menemui ibuku sedang terbaring lemah di atas sebuah ranjang di
salah satu ruangan di rumah sakit tersebut. Dan saat aku memasuki ruangan tersebut,
adik bungsuku Ramadhan langsung memelukku erat – erat tanpa berbicara sepatah
katapun dan ia menitikan air mata. Lalu aku langsung membalas rangkulannya dan
aku memohon maaf kepadanya. Lalu aku
memeluk adikku yang pertama, santi. Dan aku juga memohon maaf kepadanya.
Suasana mengharukan terjadi di runagan itu. ibu yang baru saja terbangun dari
tidurnya memanggil namaku, dan aku langsung
datang dan menangis memohon maaf kepadanya.
Ibu hanya menjawab, “kau telah kumaafkan sejak dulu nak”. Aku sangat bahagia
mendengar pernyataan itu keluar dari mulut ibuku.
Setelah
seminggu aku dan adik – adikku merawat ibu di rumah sakit, akhirnya kesehatan
ibu membaik dan telah diizinkan pulang oleh dokter. lalu kami sekeluarga pulang
ke desa kami dan akhirnya aku meneruskan hidupku seperti sedia kala. Di tahun
berikutnya yaitu pada prtengahan tahun 2004, aku memutuskan untuk melanjutkan
studiku di Universitas Sumatra Utara
(USU) dan aku berhasil diterima di Fakultas Hukum. Aku memilih kuliah di USU
karena aku takut jika aku kuliah di Banda Aceh
aku akan dicari – cari oleh para polisi karena aku pernah tergabung
dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kini aku mulai menghadapi kehidupanku yang baru sebagai mahasiswa. Namun,
walaupun begitu cerita tentang masa laluku akan selalu kukenang dan kujadikan
pengalaman yang sangat aku yakini akan sangat berarti bagi kehidupanku di masa
depan.
TAMAT
KARYA
: Ricky
Pratama
harap tuliskan sumber jika hendak mengcopy